Foto: Detik
Uang kertas Rp 100.000 hanya senilai sekitar 7,3 dolar Amerika Serikat pada 2018. |
SETELAH nilai rupiah dipangkas tiga angka nol belakangnya, coba hitung besar tabunganmu di bank tinggal berapa!
Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru, Perry Warjiyo berjanji melanjutkan rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah. Dia mengaku akan menunggu
arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk maju ke langkah selanjutnya.
Untuk diketahui, redenominasi sebenarnya sudah direncanakan oleh BI sejak beberapa tahun lalu. Mulai dari saat BI dipimpin oleh Darmin Nasution dan hingga habis masa jabatan Agus Martowardojo dan digantikan Perry Warjiyo, belum lama ini.
Penyederhanaan nilai itu bertujuan agar bisa lebih efisien, rupiah makin berdaulat dan lebih bergengsi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain.
Menurut Pengamat Pasar Uang, Farial Anwar, tidak terwujudnya rencana redenominasi pada tahun-tahun sebelumnya karena pihak-pihak pembuat keputusan seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khawatir adanya kepanikan di tengah-tengah masyarakat.
"Sudah beberapa kali diusulkan oleh BI ke pemerintah, tapi pemerintah masih belum begitu mengerti. Dikhawatirkan orang jadi panik," tutur Farial di Jakarta, seperti dilasir dari Detikfinance, Kamis (5/4/2018).
Padahal, menurut dia, redenominasi itu berbeda dari sanering. Redenominasi hanya mengurangi tiga angka nol pada uang rupiah. Misalnya Rp 50.000 menjadi Rp 50. Nol memang hilang, tapi nilai uang tetap Rp 50 ribu dan bisa digunakan untuk belanja senilai tersebut.
Adapun sanering, lanjut dia, memotong nilai uang bahkan bisa separuhnya. Misalnya Rp 50.000 jika dipotong maka nilai uang hanya Rp 25.000. Jadi jika harga beras Rp 50.000 per liter jika ada sanering maka kita hanya mendapatkan setengah liter saja.
"Untuk redenominasi, misalnya kekayaan Rp 1.000.000.000 sekarang kalau dikurangkan 0 tiga jadi Rp 1.000.000. Jadi kekayaan seakan-akan merosot, padahal daya belinya sama," tuturnya.
Karena itu, Farial mengusulkan jika redenominasi rupiah jadi dilakukan, maka sebaiknya dilakukan masa peralihan selama satu tahun. Dalam masa itu nilai rupiah yang lama masih berlaku, begitu juga dengan uang baru hasil redenominasi.
"Jadi ada keharusan, ketentuan semua toko, semua usaha selama masa peralihan menggunakan dua harga. Ada harga uang lama dan uang baru, supaya masyarakat tidak merasa tertipu. Supaya terbiasa. Jika masa peralihan sudah dilakukan, dan rupiah dengan nominal lama sudah ditarik maka barulah penerapan uang rupiah dengan nominal yang baru bisa diterapkan secara penuh,’’ imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Melchias Marcus Mekeng mengungkapkan, jika rencana redenominasi itu direalisasi, pemerintah harus belajar dari negara-negara yang sudah menerapkan, salah satunya Turki.
"Memang di banyak negara redenominasi ini sudah dilakukan. Seperti Turki, Indonesia kalau mau redenominasi harus belajar dari mereka. Berapa lama persiapan, berapa lama waktu transisi dan berapa lama penarikan uang yang lama," kata Mekeng di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Dia menjelaskan, untuk saat ini DPR masih pesimis Rancangan Undang-Undang (RUU) redenominasi bisa masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2018. Hal ini karena masih dibutuhkan kajian yang panjang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, redenominasi ini membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang lama. Seperti Turki yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk penerapan redenominasi.
"Harus melihat negara yang sudah sukses untuk penerapan redenominasi. Persiapan juga harus matang terutama yang berkaitan dengan transisi pembukuan yang akan menimbulkan biaya yang tidak murah bagi pelaku usaha," ujarnya.
Untuk diketahui, Turki adalah salah satu negara yang melaksanakan redenominasi pada 2005 silam. Negara ini memangkas enam angka nol dari mata uang. Yakni dari 1.000.000 lira menjadi 1 lira.
Foto: Liputan6
Selembar uang kertas senilai 100 triliun dolar Zimbabwe setara
dengan 1 dolar Amerika Serikat pada 2008. |
1. Islandia menghilangkan dua angka nol dalam satu kali operasi pada 1981.
2. Rusia menghilangkan tiga angka nol dalam tiga kali operasi pada 1947, 1961 dan 1998.
3. Meksiko menghilangkan tiga angka nol dalam satu kali operasi pada 1993.
4. Polandia menghilangkan empat angka nol dalam satu kali operasi pada 1995.
5. Ukraina menghilangkan lima angka nol dalam satu kali operasi pada 1996.
6. Peru menghilangkan enam angka nol melalui dua kali operasi pada 1985 dan 1991.
7. Bolivia menghilangkan sembilan angka nol melalui dua kali operasi pada 1963 dan 1987.
8. Israel menghilangkan Sembilan angka nol melalui dua kali operasi pada 1980 dan 1985.
9. Argentina menghilangkan 13 angka nol melalui empat kali operasi pada 1970, 1983, 1985, 1992.
10. Brasil menghilangkan 18 angka nol, melalui enam kali operasi pada 1967, 1970, 1986, 1989, 1993, dan 1994.
11. Ghana menghilangkan empat angka no pada 2007.
12. Zimbabwe menghapus mata uang lama dan menerbitkan mata uang baru pada 2009.
13. Afghanistan menghilangkan tiga angka nol lagi pada 2001. (sb-18)
Sumber: Detikfinance.com
0 komentar: